PROFIL INDUSTRI GULA MERAH TEBU DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

        Kabupaten Tulungagung  tergolong kabupaten yang mempunyai pendapatan daerah bersumber pada beragam sector, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan industry. Ragam komoditas dan produk yang dihasilkan juga mempunyai keragaman yang tinggi. Industri yang terdapat di dalamnya meliputi industry pertanian (pangan dan non pangan), mebel, logam, dan sebagainya yang terdapat dalam skala mikro, kecil, menengah, dan besar. Industri pertanian baik pangan maupun non pangan tergolong sector yang potensial ditinjau dari skala dan jumlahnya. Namun potensi tersebut masih dijumpai produk yang belum memenuhi standar kualitas yang ditetapkan secara nasional.  Salah satu industry yang potensial di kabupaten Tulungagung adalah industry gula merah tebu yang dalam jumlahnya cukup besar ± 170 pabrik, tetapi produknya masih banyak belum memenuhi Standar Nasional Indonesia.

        Industri pertanian di Tulungagung besar potensinya baik dalamjenis dan jumlahnya yang dapat dikelompokan dalam industry pangan dan non pangan. Industri pangan meliputi industry gula pasir,  gula merah tebu, kecap, kacang atom/sanghay, tahu, tempe, su’un, mie, ikan pindang, ikan asin dan sebagainya. Industri non pangan yang potensial adalah industry rokok, mebel, kerajinan dan lain-lain. Skala industry pertanian sebagian besar terdapat dalam industry mikro dan kecil. Walaupun ada industry besarnya, seperti Pabrik Gula Mojo Panggung. PG ini mempunyai reputasi yang baik saat ini baik dalam kualitas produknya maupun jumlah produknya.

        Pabrik Gula Merah Tebu (PGMT) mempunyai kontribusi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Berdasarkan data dalam Buku Tulungagung Dalam Angka (TDA) jumlah PGMT adalah  176 buah. Berdasarkan hasil survey jumlah dan distribusi responden pengusaha gula merah Dalam table tersebut tampak bahwa terdapat 6 kecamatan

Tabel Jumlah dan Distribusi Responden Pabrik  Gula Merah Tebu di Kabupaten Tulungagung

No Kecamatan Desa Jumlah Persentase
1 Kalidawir Sambidoplang 3  5,36
2 Rejo Tangan Tenggur 2  3,57
Karangsari 1  1,78
Aryo Jeding 2 3,57
3 Ngunut Sumbermanjing Kidul 5 8,93
4 Boyolangu Serut 3 5,36
5 Kedung Waru Ringin Pitu 3  5,36
Bangoan 2 3,57
Tapan 1 1,78
6 Sumber Gempol Sambijajar 29  51,79
sumber kulon 3 5,36
Mirigambar 2 3,57
Jumlah 56 100,00

 

dengan  13 desa yang mempunyai PGMT yang saat ini masih berproduksi, sebenarnya masih > 100 yang saat ini berhenti berproduksi karena bahan baku yang terbatas. Jumlah PGMT terbesar terdapat di desa Sambijajar kecamatan Sumber Gempol, yaitu 51,79% atau 29 PGMT. Jumlah PGMT terkecil terdapat di kecamatan Kalidawir dan Boyolangu. Hal ini sesuai dengan luasan dan hasil tebu di kecamatan Sumber Gempol cukup tinggi ± 8.919,93ton pada tahun 2009. Masa produksi yang panjang ini juga disebabkan karena bahan baku yang digunakan tidak hanya yang berasal dari sekitarnya, tetapi juga mendatangkan tebu dari luar kabupaten Tulungagung, seperti dari kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar.

        Profil pelaku bisnis responden PGMT dapat dilihat dalam Tabel 4.2, tampak bahwa pelaku usaha PGMT terbanyak berumur antara 51-60 tahun dengan jumlah 25 atau 44,64%, yang diikuti kategori umur 41-50 tahun yang berjumlah 17 atau 30,36%. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan pengusaha yang melaksanakan masa giling panjang tergolong pengusaha yang sudah lama menjalankan usahanya. Pengusaha yang masih berumur ≤ 30 tahun yang jumlahnya hanya 3 atau 5,36% cukup menggembirakan karena akan menjadi penggerak untuk keberlanjutan usaha ini

Profil Responden PGMT

No Komponen Klasifikasi Jumlah Persentase (%)
1 Umur (tahun) 21-30 3 5,36
31-40 9 16,07
41-50 17 30,36
51-60 25 44,64
60-70 2 3,57
2 Jenis kelamin Laki-laki 46 82,14
Perempuan 10 17,86
3 Lama Usaha (tahun) ≤ 10 8 14,29
>10 – 20 27 48,21
>20 – 30 21 37,5
4 Modal awal (Rp) ≤ 25.000.000 42 75
>25.000.000 – 50.000.000  11 19,64
>50.000.000 – 75.000.000 0 0
>75.000.000 – 100.000.000 3 5,36

 

        Berdasarkan jenis kelaminnya, Usaha ini didominasi oleh pengusaha laki-laki yaitu 46 atau 82,14%, dibanding  pengusaha perempuan yang hanya 10 orang atau 17,86%. PG adalah salah satu perusahaan yang banyak menggunakan tenaga kerja laki-laki karena pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang membutuhkan otot. Pengusaha perempuan ini mungkin disebabkan karena harus menjadi kepala keluarga karena ditinggal suaminya, atau telah terjadi perubahan pandangan dalam berusaha dalam industry yang didominasi oleh laki-laki.

        Lama usaha yang dilakukan responden cukup panjang, 27 atau 48,21% telah berusaha antara 10-20 tahun dan 21 atau 37,5% telah berproduksi > 20  – 30 tahun. Lama usaha yang panjang menyebabkan pengalaman dalam berbisnis, sehingga para responden ini telah berproduksi pada tahun ini telah lebih dari 7 bulan. Berdasarkan wawancara langsung dengan salah satu responden di desa Miri Gambar Kecamatan Sumber Gempol saat ini telah memproduksi GMT sejak bulan Februari 2009 sampai sekaran atau ± 10 bulan.

        Modal awal yang digunakan untuk membangun PGMT tidak besar yaitu < Rp25.000.000,- yaitu  42 pengusaha atau 75%. Modal awal ini dimiliki oleh para pengusaha yang telah melakukan usaha lebih dari 10 tahun, sedangkan yang membutuhkan modal lebih dari Rp75.000.000,- adalah pengusaha baru yang baru  atau usahanya berdiri < 10 tahun.  Bagi pengusaha baru ini membutuhkan modal yang cukup besar karena fasilitas yang digunakan membutuhkan biaya investasi ± Rp50.000.000,- pada tahun 2004 (hasil wawancara dengan pelaku usaha), sedangkan saat ini fasilitas produksi GMT bernilai Rp100.000.000,- per unitnya dengan kapasitas produksi ± 10 ton tebu atau 7-1,3 ton GMT.

        Teknologi produksi yang digunakan masih bersifat tradisional.  Gambar menyajikan tahapan operasi pembuatan GMT. Tebu digiling dengan menggunakan mesin penggilingan satu tingakt, selanjutnya nira yang dihasilkan dialirkan menuju bak penampungan. Nira mentah yang sudah terkumpul dipanaskan melalui serangkaian pan pemasakan yang tersusun seri sejumlah 6- 7 pan pemasakan. Dalam pemasakan ini dilakukan secara bertingkat.  Pemanasan tahap satu dilakukan dalam 2 pan untuk mendidihkan nira dan menghilangkan benda-benda asing seperti serat, yang mengambang dengan menggunakan jarring. Setelah bersih dan mendidih beberapa saat, nira dialiran melalui parit menuju pada pan untuk pengentalan yang terdiri dari 3 pan. Pada tahapan ini nira dipanaskan sampai  agak kental sambil diaduk dan disaring. Setelah agak kental nira dipindahkan ke pan kristalisasi (2 pan) untuk dikentalkan sampai nira siap dicetak. Peletakan pan untuk pemanasan pendahuluan diletakkan paling jauh dari pusat pemanasan, untuk pemanasan tahap 2 dilakukan dipusat pemanasan, dan untuk proses kristalisasi dilakukan di tengah , hal ini dimaksudkan agar gula yang dihasilkan tidak mengalami karamelisasi yang berlebihan. Setelah tingkat kekentalan dicapai yaitu apabila nira kental diteteskan ke dalam air dingin tidak melarut, tetapi memadat, pemanasan dihentikan. Nira kental dipindahkan ke dalam wadah kayu secara manual, dan diaduk sampai siap di cetak atau diaduk terus sampai menbentuk butiran-butiran (gula yang dihasilkan disebut Gula Oyek, atau Gula Semut). Pencetakan menggunakan tempurung kelapa atau cobek tanah. Bentuk gula ini dibuat berdasarkan keinginan konsumen yang memesan.  

Proses penggilingan mempergunakan motor 12 Hp, rata-rata kapasitas penggilingan adalah 10-12 ton/hari. Tebu dimasak dalam tungku dan banyaknya pemasak bervariasi antara 6-8 pemasak. Pengambilan gula untuk proses pendinginan mempergunakan gayung atau ember dan seterusnya dicetak dengan lemper atau tempurung kelapa sesuai dengan permintaan pasar . Bahan bakar yang dipergunakan untuk tungku berasal dari bagas tebu sisa penggilingan dan sekam padi. Limbah proses pengolahan yang belum dimanfaatkan adalah abu sisa pembakaran dan blotong walaupun jumlahnya sangat kecil.

 Fasilitas yang digunakan sudah tersentuh mekanisasi, yaitu untuk fasilitas penggiling tebu dan sudah menggunakan pompa untuk mengalirkan nira mentah ke dalam bak penampungan.  Perpindahan material selain menggunakan pompa dan pipa/selang, juga dengan memanfatkan sifat cairan  yang mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, yaitu dengan menggunakan parit untuk nira dari pemanasan pendahuluan. Namun demikian, proses pemasakan, kristalisasi dan pencetakan GMT masih dilakukan secara manual. Jenis pekerjaan yang dikerjakan adalah pekerjaan yang memerlukan tenaga yang kuat, sehingga pekerjanya hampir semuanya laki-laki.

Kondisi usaha responden saat ini dapat dilihat dalam Tabel 4.3, yang menunjukkan bahwa terlihat peningkatan usaha yang cukup baik. Sebagian besar responden memulai usaha dengan kapasitas ≤ 5 kuintal per hari yaitu berjumlah 29 pengusaha atau 51,79%, sedangkan dengan kapasitas awal > 10 kuintal/hari hanya 2 pengusaha atau 3,57%, dan saat ini responden dengan kapasitas produksi > 10 kuintal/hari meningkat menjadi 23,21% atau 13 pengusaha. Rata-rata kapasitas sekarang adalah ± 10 kuintal perhari.

Perkembangan Kondisi Usaha Responden saat ini

No Komponen Klasifikasi Jumlah persentase (%)
1 Kapasitas awal (kuintal) ≤ 5 29 51,79
    >5 – 10 25 44,64
    > 10 2 3,57
2 Kapasitas saat ini (kuintal) ≤ 10 42 75
    >10 – 20 13 23,21
    >20 -30 1  1,79
3 jumlah Tenaga Kerja awal (orang ≤ 5 39 69,64
    >5 -10 17 30,36
4 jumlah Tenaga Kerja saat ini (orang) ≤ 5 9 16,07
    >5 -10 46 82,14
    >10 – 15 1 1,79
5 Harga Gula (Rp/kuintal)  ≤ 550.000 1 1,79
    >550.000 – 600.000 34 60,71
    >600.000 – 650.000 20 35,71
    >650.000 1 1,79
6 Rerata Ongkos TK/org/kuintal (Rp) 22.500    

 

Perubahan jumlah tenaga kerja juga mengalami peningkatan, diawal produksi sebagian besar produsen GMT masih menggunakan kurang dari 5 tenaga kerja (39 pengusaha atau 69,64%), sedangkan saat ini 82,6% atau 46 pengusaha mempunyai tenaga kerja 5-10 orang. Hal ini menunjukkan bahwa industry GMT ini sangat potensial dalam menyerap tenaga kerja, walaupun tenaga kerja yang direkrut masih tenaga kerja laki-laki. Sebagian besar gula yang dihasilkan mempunyai harga juga < dari Rp6.000,- per kg. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas gula yang dihasilkan masih rendah. Rendahnya kualitas gula disebabkan karena kebutuhan pasar yang tinggi, yang ditunjukkan bahwa hasil gula dengan kondisi apapun dan jumlah berapapun akan laku terjual. Kondisi ini tentunya tidak memotivasi pengusaha untuk menghasilkan produk GMT yang kerkualitas. Hal ini juga didukung dengan data harga GMT yang > Rp6.000,- hanya ± 36%, bahwa yang mempunyai harga Rp6.600,- hanya satu pengusaha. Dari hasil wawancara dengan pengepul gula di kecamatan Ngunut, diantara gula oyek yang dikumpulkan dari para pengusaha di kabupaten Tulungagung hanya satu yang mempunyai kualitas bagus.

Kualitas gula yang dihasilkan oleh pengusaha di desa Miri Gambar mempunyai kondisi lebih baik, bila dibandingkan dengan SNI untuk GMT maka masih diperlukan untuk diperbaiki. Kondisi gula yang masih belum memenuhi standar tersebut dikarenakan GMT selalu laku terjual. Tetapi bila kualitas ditingkatkan maka produsen akan lebih mempunyai posisi tawar yang tinggi untuk penentuan harga produknya.

Kualitas Gula Merah Tebu dan Syarat Mutu yang Ditetapkan SNI

Kualitas Gula Merah Tebu dan Syarat Mutu yang Ditetapkan SNI

NO KOMPONEN MUTU GMT GULA OYEK SNI
1 Warna Coklat tua Coklat Coklat-kekuningan
2 Kadar air (%) 8,71 6,76 8%
3 Gula reduksi (%) 7,31 6,66 11%
4 Total Gula (%) 89,04 91,23 65%
5 Bahan asing 2,23 1,97

 

Rendahnya kualitas GMT yang dihasilkan karena kondisi proses yang belum dikendalikan dengan benar, belum adanya pengawasan yang baik,  metode kerja yang masih sederhana dan tradisional.  Disamping itu sanitasi lingkungan produksi maupun tempat penyimpanan sementara yang tidak diperhatikan kebersihannya akan dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas gula. Pada umumnya GMT digunakan sebagai bahan baku untuk industry lain seperti industry kecap, industry gula merah (sebagai bahan campuran nira kelapa), sedangkan bila digunakan untuk konsumen akhir (keperluan rumah tangga) kondisi GMT masih harus ditingkatkan kualitasnya.

Identifikasi Industri Gula Tebu

Identifikasi industri gula tebu rakyat di Kabupaten Tulung Agung.  Selanjutnya hasil gula tebu digunakan sebagai bahan baku dalam industri pertanian (agroindustri) seperti dicampur dengan gula kelapa, sebagai bahan baku kecap, dan sebagai bahan pemanis lainya khususnya industri pertanian.  Untuk memudahkan penjelasan keterkaitan pengolahan dan bahan baku yang diperlukan untuk masing-masing agroindustri yang teridentifikasi maka perlu disusun pohon industri pengolahan hasil pertanian yang berupa bagan alir.  Selain itu juga akan dibahas mengenai alat dan mesin yang sesuai untuk dapat digunakan dalam proses produksi masing-masing komponen/unit industri, sehingga ada gambaran mengenai spesifikasi industri yang diperlukan dalam pengembangan industri pertanian.

Pohon industri ini disusun untuk memberikan informasi pemanfaatan komoditi hasil pertanian secara optimal.  Informasi pemanfaatan komoditi dengan kemungkinan seluas-luasnya dengan diversifikasi vertikal maupun horizontal dan aspek pemanfaatan atau pengolahan dengan konsep produksi bersih (re-used, reduces dan recycling). 

Pohon industri pengolahan hasil didapatkan dengan menghimpun informasi seluas-luasnya tentang pengolahan hasil pertanian di Jawa Timur.  Informasi, yang dikumpulkan berupa data primer maupun sekunder, diperoleh dengan cara survei dan penelitian lapang, studi literatur dan penelitian laboratorium Kemudian dengan on desk analysis penyusunan pohon industri dilakukan sesuai dengan pengelompokan komoditinya