Daerah irigasi Induk Saluran Molek diairi dari Bendung Blobo dengan debit andalan antara 6811,106 lt/dt sampai 7563,47 lt/dt. mengairi lahan seluas 3974 Ha. Dengan daya tenaga kerja manusia dan traktor sebesar 33219 HP/periode dan tenaga kerja traktor 48619 HP/periode. Ketersediaan air, tenaga kerja dan luas lahan merupakan sumberdaya yang terbatas,oleh sebab itu diperlukan pengelolaan yang optimal untuk mendapatkan keuntungan yang semaksimal mungkin. Program Solver yang terdapat pada extension microsoft Exel dapat dipergunakan untuk menyelesaikan optimasi. Tujuan dari penelitian adalah untuk mendapatkan pola tanam yang optimal, dan keuntungan maksimal pada keterbatasan ketersediaan air, tenaga kerja dan luas lahan. Dari hash kajian untuk daerah irigasi Molek dapat disimpulkan bahwa: (1). Pola tanam Padi-Padi-Padi 3400 ha, Padi-Padi- Palawijo 305 ha, Tebu 49 ha. (2). Keuntungan dengan ketiga pola tanam Rp 115.196.639.500,- (3). Ketersediaan air dan tenaga kerja di daerah irigasi Molek sangat mencukupi untuk Pola tanam Padi-Padi-Padi.

PROFIL INDUSTRI GULA MERAH TEBU DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

        Kabupaten Tulungagung  tergolong kabupaten yang mempunyai pendapatan daerah bersumber pada beragam sector, antara lain pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan industry. Ragam komoditas dan produk yang dihasilkan juga mempunyai keragaman yang tinggi. Industri yang terdapat di dalamnya meliputi industry pertanian (pangan dan non pangan), mebel, logam, dan sebagainya yang terdapat dalam skala mikro, kecil, menengah, dan besar. Industri pertanian baik pangan maupun non pangan tergolong sector yang potensial ditinjau dari skala dan jumlahnya. Namun potensi tersebut masih dijumpai produk yang belum memenuhi standar kualitas yang ditetapkan secara nasional.  Salah satu industry yang potensial di kabupaten Tulungagung adalah industry gula merah tebu yang dalam jumlahnya cukup besar ± 170 pabrik, tetapi produknya masih banyak belum memenuhi Standar Nasional Indonesia.

        Industri pertanian di Tulungagung besar potensinya baik dalamjenis dan jumlahnya yang dapat dikelompokan dalam industry pangan dan non pangan. Industri pangan meliputi industry gula pasir,  gula merah tebu, kecap, kacang atom/sanghay, tahu, tempe, su’un, mie, ikan pindang, ikan asin dan sebagainya. Industri non pangan yang potensial adalah industry rokok, mebel, kerajinan dan lain-lain. Skala industry pertanian sebagian besar terdapat dalam industry mikro dan kecil. Walaupun ada industry besarnya, seperti Pabrik Gula Mojo Panggung. PG ini mempunyai reputasi yang baik saat ini baik dalam kualitas produknya maupun jumlah produknya.

        Pabrik Gula Merah Tebu (PGMT) mempunyai kontribusi yang besar dalam pertumbuhan ekonomi dan serapan tenaga kerja. Berdasarkan data dalam Buku Tulungagung Dalam Angka (TDA) jumlah PGMT adalah  176 buah. Berdasarkan hasil survey jumlah dan distribusi responden pengusaha gula merah Dalam table tersebut tampak bahwa terdapat 6 kecamatan

Tabel Jumlah dan Distribusi Responden Pabrik  Gula Merah Tebu di Kabupaten Tulungagung

No Kecamatan Desa Jumlah Persentase
1 Kalidawir Sambidoplang 3  5,36
2 Rejo Tangan Tenggur 2  3,57
Karangsari 1  1,78
Aryo Jeding 2 3,57
3 Ngunut Sumbermanjing Kidul 5 8,93
4 Boyolangu Serut 3 5,36
5 Kedung Waru Ringin Pitu 3  5,36
Bangoan 2 3,57
Tapan 1 1,78
6 Sumber Gempol Sambijajar 29  51,79
sumber kulon 3 5,36
Mirigambar 2 3,57
Jumlah 56 100,00

 

dengan  13 desa yang mempunyai PGMT yang saat ini masih berproduksi, sebenarnya masih > 100 yang saat ini berhenti berproduksi karena bahan baku yang terbatas. Jumlah PGMT terbesar terdapat di desa Sambijajar kecamatan Sumber Gempol, yaitu 51,79% atau 29 PGMT. Jumlah PGMT terkecil terdapat di kecamatan Kalidawir dan Boyolangu. Hal ini sesuai dengan luasan dan hasil tebu di kecamatan Sumber Gempol cukup tinggi ± 8.919,93ton pada tahun 2009. Masa produksi yang panjang ini juga disebabkan karena bahan baku yang digunakan tidak hanya yang berasal dari sekitarnya, tetapi juga mendatangkan tebu dari luar kabupaten Tulungagung, seperti dari kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar.

        Profil pelaku bisnis responden PGMT dapat dilihat dalam Tabel 4.2, tampak bahwa pelaku usaha PGMT terbanyak berumur antara 51-60 tahun dengan jumlah 25 atau 44,64%, yang diikuti kategori umur 41-50 tahun yang berjumlah 17 atau 30,36%. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan pengusaha yang melaksanakan masa giling panjang tergolong pengusaha yang sudah lama menjalankan usahanya. Pengusaha yang masih berumur ≤ 30 tahun yang jumlahnya hanya 3 atau 5,36% cukup menggembirakan karena akan menjadi penggerak untuk keberlanjutan usaha ini

Profil Responden PGMT

No Komponen Klasifikasi Jumlah Persentase (%)
1 Umur (tahun) 21-30 3 5,36
31-40 9 16,07
41-50 17 30,36
51-60 25 44,64
60-70 2 3,57
2 Jenis kelamin Laki-laki 46 82,14
Perempuan 10 17,86
3 Lama Usaha (tahun) ≤ 10 8 14,29
>10 – 20 27 48,21
>20 – 30 21 37,5
4 Modal awal (Rp) ≤ 25.000.000 42 75
>25.000.000 – 50.000.000  11 19,64
>50.000.000 – 75.000.000 0 0
>75.000.000 – 100.000.000 3 5,36

 

        Berdasarkan jenis kelaminnya, Usaha ini didominasi oleh pengusaha laki-laki yaitu 46 atau 82,14%, dibanding  pengusaha perempuan yang hanya 10 orang atau 17,86%. PG adalah salah satu perusahaan yang banyak menggunakan tenaga kerja laki-laki karena pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan yang membutuhkan otot. Pengusaha perempuan ini mungkin disebabkan karena harus menjadi kepala keluarga karena ditinggal suaminya, atau telah terjadi perubahan pandangan dalam berusaha dalam industry yang didominasi oleh laki-laki.

        Lama usaha yang dilakukan responden cukup panjang, 27 atau 48,21% telah berusaha antara 10-20 tahun dan 21 atau 37,5% telah berproduksi > 20  – 30 tahun. Lama usaha yang panjang menyebabkan pengalaman dalam berbisnis, sehingga para responden ini telah berproduksi pada tahun ini telah lebih dari 7 bulan. Berdasarkan wawancara langsung dengan salah satu responden di desa Miri Gambar Kecamatan Sumber Gempol saat ini telah memproduksi GMT sejak bulan Februari 2009 sampai sekaran atau ± 10 bulan.

        Modal awal yang digunakan untuk membangun PGMT tidak besar yaitu < Rp25.000.000,- yaitu  42 pengusaha atau 75%. Modal awal ini dimiliki oleh para pengusaha yang telah melakukan usaha lebih dari 10 tahun, sedangkan yang membutuhkan modal lebih dari Rp75.000.000,- adalah pengusaha baru yang baru  atau usahanya berdiri < 10 tahun.  Bagi pengusaha baru ini membutuhkan modal yang cukup besar karena fasilitas yang digunakan membutuhkan biaya investasi ± Rp50.000.000,- pada tahun 2004 (hasil wawancara dengan pelaku usaha), sedangkan saat ini fasilitas produksi GMT bernilai Rp100.000.000,- per unitnya dengan kapasitas produksi ± 10 ton tebu atau 7-1,3 ton GMT.

        Teknologi produksi yang digunakan masih bersifat tradisional.  Gambar menyajikan tahapan operasi pembuatan GMT. Tebu digiling dengan menggunakan mesin penggilingan satu tingakt, selanjutnya nira yang dihasilkan dialirkan menuju bak penampungan. Nira mentah yang sudah terkumpul dipanaskan melalui serangkaian pan pemasakan yang tersusun seri sejumlah 6- 7 pan pemasakan. Dalam pemasakan ini dilakukan secara bertingkat.  Pemanasan tahap satu dilakukan dalam 2 pan untuk mendidihkan nira dan menghilangkan benda-benda asing seperti serat, yang mengambang dengan menggunakan jarring. Setelah bersih dan mendidih beberapa saat, nira dialiran melalui parit menuju pada pan untuk pengentalan yang terdiri dari 3 pan. Pada tahapan ini nira dipanaskan sampai  agak kental sambil diaduk dan disaring. Setelah agak kental nira dipindahkan ke pan kristalisasi (2 pan) untuk dikentalkan sampai nira siap dicetak. Peletakan pan untuk pemanasan pendahuluan diletakkan paling jauh dari pusat pemanasan, untuk pemanasan tahap 2 dilakukan dipusat pemanasan, dan untuk proses kristalisasi dilakukan di tengah , hal ini dimaksudkan agar gula yang dihasilkan tidak mengalami karamelisasi yang berlebihan. Setelah tingkat kekentalan dicapai yaitu apabila nira kental diteteskan ke dalam air dingin tidak melarut, tetapi memadat, pemanasan dihentikan. Nira kental dipindahkan ke dalam wadah kayu secara manual, dan diaduk sampai siap di cetak atau diaduk terus sampai menbentuk butiran-butiran (gula yang dihasilkan disebut Gula Oyek, atau Gula Semut). Pencetakan menggunakan tempurung kelapa atau cobek tanah. Bentuk gula ini dibuat berdasarkan keinginan konsumen yang memesan.  

Proses penggilingan mempergunakan motor 12 Hp, rata-rata kapasitas penggilingan adalah 10-12 ton/hari. Tebu dimasak dalam tungku dan banyaknya pemasak bervariasi antara 6-8 pemasak. Pengambilan gula untuk proses pendinginan mempergunakan gayung atau ember dan seterusnya dicetak dengan lemper atau tempurung kelapa sesuai dengan permintaan pasar . Bahan bakar yang dipergunakan untuk tungku berasal dari bagas tebu sisa penggilingan dan sekam padi. Limbah proses pengolahan yang belum dimanfaatkan adalah abu sisa pembakaran dan blotong walaupun jumlahnya sangat kecil.

 Fasilitas yang digunakan sudah tersentuh mekanisasi, yaitu untuk fasilitas penggiling tebu dan sudah menggunakan pompa untuk mengalirkan nira mentah ke dalam bak penampungan.  Perpindahan material selain menggunakan pompa dan pipa/selang, juga dengan memanfatkan sifat cairan  yang mengalir dari tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah, yaitu dengan menggunakan parit untuk nira dari pemanasan pendahuluan. Namun demikian, proses pemasakan, kristalisasi dan pencetakan GMT masih dilakukan secara manual. Jenis pekerjaan yang dikerjakan adalah pekerjaan yang memerlukan tenaga yang kuat, sehingga pekerjanya hampir semuanya laki-laki.

Kondisi usaha responden saat ini dapat dilihat dalam Tabel 4.3, yang menunjukkan bahwa terlihat peningkatan usaha yang cukup baik. Sebagian besar responden memulai usaha dengan kapasitas ≤ 5 kuintal per hari yaitu berjumlah 29 pengusaha atau 51,79%, sedangkan dengan kapasitas awal > 10 kuintal/hari hanya 2 pengusaha atau 3,57%, dan saat ini responden dengan kapasitas produksi > 10 kuintal/hari meningkat menjadi 23,21% atau 13 pengusaha. Rata-rata kapasitas sekarang adalah ± 10 kuintal perhari.

Perkembangan Kondisi Usaha Responden saat ini

No Komponen Klasifikasi Jumlah persentase (%)
1 Kapasitas awal (kuintal) ≤ 5 29 51,79
    >5 – 10 25 44,64
    > 10 2 3,57
2 Kapasitas saat ini (kuintal) ≤ 10 42 75
    >10 – 20 13 23,21
    >20 -30 1  1,79
3 jumlah Tenaga Kerja awal (orang ≤ 5 39 69,64
    >5 -10 17 30,36
4 jumlah Tenaga Kerja saat ini (orang) ≤ 5 9 16,07
    >5 -10 46 82,14
    >10 – 15 1 1,79
5 Harga Gula (Rp/kuintal)  ≤ 550.000 1 1,79
    >550.000 – 600.000 34 60,71
    >600.000 – 650.000 20 35,71
    >650.000 1 1,79
6 Rerata Ongkos TK/org/kuintal (Rp) 22.500    

 

Perubahan jumlah tenaga kerja juga mengalami peningkatan, diawal produksi sebagian besar produsen GMT masih menggunakan kurang dari 5 tenaga kerja (39 pengusaha atau 69,64%), sedangkan saat ini 82,6% atau 46 pengusaha mempunyai tenaga kerja 5-10 orang. Hal ini menunjukkan bahwa industry GMT ini sangat potensial dalam menyerap tenaga kerja, walaupun tenaga kerja yang direkrut masih tenaga kerja laki-laki. Sebagian besar gula yang dihasilkan mempunyai harga juga < dari Rp6.000,- per kg. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas gula yang dihasilkan masih rendah. Rendahnya kualitas gula disebabkan karena kebutuhan pasar yang tinggi, yang ditunjukkan bahwa hasil gula dengan kondisi apapun dan jumlah berapapun akan laku terjual. Kondisi ini tentunya tidak memotivasi pengusaha untuk menghasilkan produk GMT yang kerkualitas. Hal ini juga didukung dengan data harga GMT yang > Rp6.000,- hanya ± 36%, bahwa yang mempunyai harga Rp6.600,- hanya satu pengusaha. Dari hasil wawancara dengan pengepul gula di kecamatan Ngunut, diantara gula oyek yang dikumpulkan dari para pengusaha di kabupaten Tulungagung hanya satu yang mempunyai kualitas bagus.

Kualitas gula yang dihasilkan oleh pengusaha di desa Miri Gambar mempunyai kondisi lebih baik, bila dibandingkan dengan SNI untuk GMT maka masih diperlukan untuk diperbaiki. Kondisi gula yang masih belum memenuhi standar tersebut dikarenakan GMT selalu laku terjual. Tetapi bila kualitas ditingkatkan maka produsen akan lebih mempunyai posisi tawar yang tinggi untuk penentuan harga produknya.

Kualitas Gula Merah Tebu dan Syarat Mutu yang Ditetapkan SNI

Kualitas Gula Merah Tebu dan Syarat Mutu yang Ditetapkan SNI

NO KOMPONEN MUTU GMT GULA OYEK SNI
1 Warna Coklat tua Coklat Coklat-kekuningan
2 Kadar air (%) 8,71 6,76 8%
3 Gula reduksi (%) 7,31 6,66 11%
4 Total Gula (%) 89,04 91,23 65%
5 Bahan asing 2,23 1,97

 

Rendahnya kualitas GMT yang dihasilkan karena kondisi proses yang belum dikendalikan dengan benar, belum adanya pengawasan yang baik,  metode kerja yang masih sederhana dan tradisional.  Disamping itu sanitasi lingkungan produksi maupun tempat penyimpanan sementara yang tidak diperhatikan kebersihannya akan dapat menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas gula. Pada umumnya GMT digunakan sebagai bahan baku untuk industry lain seperti industry kecap, industry gula merah (sebagai bahan campuran nira kelapa), sedangkan bila digunakan untuk konsumen akhir (keperluan rumah tangga) kondisi GMT masih harus ditingkatkan kualitasnya.

Identifikasi Industri Gula Tebu

Identifikasi industri gula tebu rakyat di Kabupaten Tulung Agung.  Selanjutnya hasil gula tebu digunakan sebagai bahan baku dalam industri pertanian (agroindustri) seperti dicampur dengan gula kelapa, sebagai bahan baku kecap, dan sebagai bahan pemanis lainya khususnya industri pertanian.  Untuk memudahkan penjelasan keterkaitan pengolahan dan bahan baku yang diperlukan untuk masing-masing agroindustri yang teridentifikasi maka perlu disusun pohon industri pengolahan hasil pertanian yang berupa bagan alir.  Selain itu juga akan dibahas mengenai alat dan mesin yang sesuai untuk dapat digunakan dalam proses produksi masing-masing komponen/unit industri, sehingga ada gambaran mengenai spesifikasi industri yang diperlukan dalam pengembangan industri pertanian.

Pohon industri ini disusun untuk memberikan informasi pemanfaatan komoditi hasil pertanian secara optimal.  Informasi pemanfaatan komoditi dengan kemungkinan seluas-luasnya dengan diversifikasi vertikal maupun horizontal dan aspek pemanfaatan atau pengolahan dengan konsep produksi bersih (re-used, reduces dan recycling). 

Pohon industri pengolahan hasil didapatkan dengan menghimpun informasi seluas-luasnya tentang pengolahan hasil pertanian di Jawa Timur.  Informasi, yang dikumpulkan berupa data primer maupun sekunder, diperoleh dengan cara survei dan penelitian lapang, studi literatur dan penelitian laboratorium Kemudian dengan on desk analysis penyusunan pohon industri dilakukan sesuai dengan pengelompokan komoditinya

ARAHAN SEKTOR SUMBERDAYA AIR

Arahan Pengembangan dan Pengelolaan Sektor Sumberdaya Air

Dalam pengelolaan sumberdaya air, ada ketentuan penting yang mendasar tentang pola pengelolaan sumberdaya air dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Dalam Pasal 10 disebutkan bahwa :

(1)      Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumberdaya air yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumberdaya air.

(2)      Pola pengelolaan sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah.

Dalam penjelasan UU tersebut dikemukakan bahwa pola pengelolaan sumberdaya air merupakan kerangka dasar dalam merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air pada setiap wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan dan air tanah.

Pengembangan sumberdaya air dengan mengedepankan pola pengelolaan yang didasarkan pada prinsip keseimbangan antara upaya konservasi dan pendayagunaan sumberdaya air, adalah salah satu upaya dalam memberikan perlindungan dan pelestarian sumber air yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber air beserta lingkungan dari kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh daya alam, termasuk kekeringan yang disebabkan oleh tindakan manusia.

Pengembangan sektor sumberdaya air di Kabupaten Ponorogo diarahkan sebagai upaya melakukan pengendalian daya rusak air untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan kualitas lingkungan yang disebabkan oleh daya rusak air. Konservasi sumberdaya air ditujukan untuk menjaga kelangsungan dan keberadaan daya dukung, daya tampung, dan fungsi sumberdaya air, melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, serta pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai.

Arahan KRP Sektor Sumberdaya Air

Sesuai dengan agenda percepatan pembangunan infrastruktur dan arah pembangunan dan pengembangan sektor Sumber Daya Air dengan sasaran umum terkendalinya keseimbangan lingkungan, meningkatnya kemampuan pemenuhan kebutuhan air baku dan air irigasi, serta pengendalian banjir/kekeringan, maka arahan KRP sektor sumber daya air yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

  1. Arahan kebijakan konservasi kawasan sumberdaya air

Konservasi sumber daya air mutlak dilakukan sebagai upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan sifat dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai bagi pemenuhan kebutuhan yang dapat memberikan manfaat yang sebesar – besarnya terhadap kepentingan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.. Dalam pengendalian kelestarian kawasan sumber daya air dari kerusakan akibat aktifitas pembukaan dan alih fungsi lahan, perlu dilakukan arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»            Arahan rencana pemulihan kawasan resapan air

–         Rehabilitasi kerusakan disekitar sumber-sumber air dan wilayah rawan longsor, banjir, dan kekeringan,

–         Pengembalian fungsi pada kawasan yang mengalami kerusakan, melalui penanganan secara teknis dan vegetatif

–         Pelestarian dan pengembangan hutan, terutama daerah hulu DAS dengan tanaman keras tegakan tinggi.

»            Arahan rencana pemanfaatan kawasan sekitar resapan air

–         Pengendalian secara ketat (Perda, IMB) dalam penetapan keabadian kawasan resapan air sebagai kawasan yang tidak dapat dialih fungsikan.

–         Pembatasan penggunaan lahan secara langsung untuk bangunan yang tidak berhubungan dengan pelestarian dan konservasi air.

–         Sistem reward dan punishment untuk mengurangi terjadinya alih fungsi lahan dengan sanksi yang tegas.

  1. Arahan kebijakan pengembangan potensi sumberdaya air

Pembangunan infrastruktur baru dan pemeliharaan infrastruktur sumberdaya air yang sudah ada, sangat diperlukan untuk mengembangkan potensi sumber daya air yang selama ini belum terkelola dengan baik, khususnya pada wilayah-wilayah yang memungkinkan dilakukan pembangunan sarana pengairan baru. Kebijakan pembangunan dan pengembangan infrastruktur ini selain dapat memenuhi kebutuhan air baku, juga akan meningkatkan tingkat produktifitas pertanian dengan ketersedian air irigasi yang cukup yang pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian dan perkembangan wilayah. Dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan sarana potensi sumber daya air, perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»            Arahan rencana optimalisasi dan pengembangan sumber daya air

–         Pembangunan embung/dam penyimpan air

–         Rehabilitasi embung/dam yang sudah ada

–         Pembangunan jaringan irigasi baru dan rehabilitasi jaringan irigasi yang telah ada

–         Pelestarian dan pengamanan kawasan waduk dan Daerah Aliran Sungai (rehabilitasi, operasi, dan pemeliharaan)

»            Arahan rencana pengendalian, pemanfaatan, dan pendistribusian air

–         Pembatasan konsumsi air tanah, yang lebih mengutamakan untuk konsumsi air baku.

–         Menjaga keseimbangan antara pemenuhan jangka pendek dan jangka panjang.

–         Optimalisasi dan pengembalian fungsi jaringan irigasi

–         Peningkatan penyediaan air baku dari air permukaan

ARAHAN SEKTOR SUMBERDAYA ALA

Sumberdaya Hutan

1.  Arahan Pengembangan

Arahan pengembangan sektor kehutanan didasarkan kepada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di kawasan hutan terutama bagi pemegang izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-undang tersebut. Ketidakpastian tersebut terjadi, karena dalam ketentuan Undang-undang tersebut tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undangundang tersebut tetap berlaku. Tidak adanya ketentuan tersebut mengakibatkan status dari izin atau perjanjian yang ada sebelum berlakunya Undang-undang tersebut menjadi tidak jelas dan bahkan dapat diartikan menjadi tidak berlaku lagi. Hal ini diperkuat ketentuan Pasal 38 ayat (4) yang menyatakan secara tegas bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Ketentuan tersebut semestinya hanya berlaku sesudah berlakunya Undang-undang tersebut dan tidak diberlakukan surut.

Ketidakpastian hukum dalam melakukan kegiatan usaha pertambangan di kawasan hutan tersebut dapat mengakibatkan Pemerintah berada dalam posisi yang sulit dalam mengembangkan iklim investasi. Sehubungan dengan hal tersebut, dipandang perlu untuk mengubah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Perubahan tersebut adalah menambah ketentuan bahwa semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang telah ada sebelum berlakunya Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud.

Sesuai dengan Undang-Undang tentang Kehutanan, penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan:

a.   Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional;

b.   Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi, yang seimbang dan lestari;

c.   Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai;

d.   Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan

e.   Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.

2.  Arahan KRP

Sesuai dengan permasalahan lingkungan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya kehutanan di wilayah Kabupaten Ponorogo, maka arahan KRP yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

  1. Arahan Kebijakan Pelestarian Fungsi Kawasan Hutan.

Perkembangan wilayah dan peningkatan kebutuhan ruang dan lahan untuk kegiatan manusia, secara langsung maupun tidak akan mempengaruhi kondisi kawasan hutan. Semakin tingginya tingkat kerusakan hutan akan menyebabkan menurunnya fungsi dan daya dukung kawasan hutan sebagai daerah resapan air dan konservasi. Dalam pelaksanaan kebijakan pelestarian fungsi kawasan hutan perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana penatagunaan kawasan hutan

–         Penetapan fungsi dan penggunaan kawasan hutan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

–         Mempertahankan luas cakupan wilayah kawasan hutan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai.

»          Arahan rencana perlindungan hutan dan konservasi alam

–         Mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan dari faktor-faktor penyebabnya.

–         Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar instansi terkait dan mengikut sertakan masyarakat dalam upaya perlindungan kawasan hutan.

–         Memperketat pengawasan dan pelarangan mengerjakan dan/atau menggunakan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; merambah kawasan hutan dan melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan : 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; dan 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang.

–         Melarang kegiatan yang dapat merusak kawasan hutan dan memperketat perijinan kegiatan dalam kawasan hutan.

  1. Arahan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Hutan

Tingginya alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan pemanfaatan lain terutama lahan pertanian dan meningkatnya kerusakan kawasan hutan di wilayah Kabupaten Ponorogo menyebabkan menurunnya fungsi dan daya dukung kawasan hutan terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam pelaksanaan kebijakan pengelolaan kawasan hutan perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana pemanfatan hutan dan penggunaan kawasan hutan

–         Pembatasan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sesuai dengan fungsinya.

–         Pembatasan pemanfaatan hutan diwilayah sekitar Telaga Ngebel hanya untuk mendukung kegiatan pariwisata dan mempertahankan fungsinya sebagai kawasan lindung.

–         Memperketat pengawasan dan perijinan dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan untuk pemanfaatan dan penggunaan lainnya.

–         Meningkatkan kerjasama dan koordinasi antar instansi serta dengan masyarakat dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan tanpa mengganggu fungsi kawasan hutan.

»          Arahan rencana rehabilitasi dan reklamasi hutan

–         Rehabilitasi  kawasan hutan terutama kawasan kritis dengan kegiatan reboisasi, penghijauan dan pemeliharaan.

–         Melakukan pendekatan partisipatif dalam kegiatan rehabilitasi hutan dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.

Sumberdaya Lahan

1.  Arahan Pengembangan

Pemanfaatan dan penggunaan lahan harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan, dimana rencana tata ruang merupakan pedoman untuk pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfataan ruang di wilayah Kabupaten Ponorogo. Terjadinya alih fungsi lahan dan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya akan menyebabkan menurunnya daya dukung lahan sehingga berpotensi terjadi degradasi lahan. Berdasarkan kondisi dan permasalahan dalam sumberdaya lahan di wilayah Kabupaten Ponorogo, perlu disusun suata arahan kebijakan, rencana dan program (KRP) sebagai dasar arahan untuk penataan dan pendayagunaan pemanfaatan dan penggunaan lahan sehingga dapat mendukung perkembangan wilayah dan fungsi daya dukungnya terhadap lingkungan.

2.  Arahan KRP

Sesuai dengan permasalahan lingkungan yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya lahan di wilayah Kabupaten Ponorogo, maka arahan KRP yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

  1. Arahan Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Lahan.

Berkembangnya kebutuhan lahan untuk kegiatan perekonomian dan pengembangan wilayah telah mendorong terjadinya alih fungsi fungsi lahan yang cukup besar di wilayah kabupaten Ponorogo. Kawasan hutan yang selama ini berfungsi sebagai kawasan konservasi sudah semakin terancam keberadaannya dan telah berubah menjadi lahan pertanian akibat meningkatnya kebutuhan untuk lahan pertanian. Meningkatnya alih fungsi lahan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dimana kawasan yang semula merupakan kawasan untuk konservasi menjadi lahan budidaya yang menyebabkan kemampuan tanah meyerap dan menyimpan air menjadi berkurang dan rusaknya struktur tanah sehingga dalam jangka panjang akan berpotensi menyebabkan meningkatnya erosi dan banjir. Dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian pemanfaatan lahan perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana pengendalian kawasan terbangun

–         Pembatasan pembangunan pada kawasan konservasi dan lahan pertanian produktif.

–         Pengetatan aturan dan perijinan yang berhubungan dengan alih fungsi lahan (Perda, IMB).

–         Sistem reward dan punishment untuk mengurangi terjadinya alih fungsi lahan dengan sanksi yang tegas.

  1. Arahan Kebijakan Peningkatan Daya Dukung Lahan

»          Arahan rencana rehabilitasi dan reklamasi lahan

»          Arahan rencana pemanfaatan lahan sesuai fungsi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Sumberdaya Mineral

1.  Arahan Pengembangan

2.  Arahan KRP

Berdasarkan isu pokok dampak lingkungan yang timbul dengan adanya KRP di sektor pertambangan, maka arahan KRP yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

  1. Arahan Kebijakan Pengembangan Potensi Pertambangan.
  2. Arahan Kebijakan Optimalisasi Pengelolaan Pertambangan
  3. Arahan Kebijakan

ARAHAN SEKTOR PERTANIAN

Sesuai dengan arah pembangunan dan pengembangan sektor pertanian yaitu pengembangan Kota Batu menjadi Kota Agropolitan. Agropolitan yang diterapkan di Kota Batu kaitannya dengan spasial adalah pengembangan kawasan pertanian yang didalamnya orientasi kegiatannya baik secara langsung maupun tidak langsung mengarah pada kegiatan pertanian yang terpadu. Sesuai dengan permasalahan lingkungan yang timbul dengan adanya kebijakan, rencana dan program (KRP) di sektor pertanian, maka arahan KRP yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

Pembangunan dan pengembangan infrastruktur pertanian

Pembangunan infrastruktur pendukung kegiatan pertanian sangat diperlukan untuk mendukung sektor pertanian, khususnya pada wilayah-wilayah yang telah ditetapkan menjadi kawasan sentra produksi (KSP) sesuai arah pengembangan Kota Batu menjadi Kota Agropolitan. Kebijakan pembangunan dan pengembangan infrastruktur ini akan meningkatkan tingkat produktifitas pertanian, yang pada gilirannya akan meningkatkan perekonomian dan perkembangan wilayah. Dalam pelaksanaan kebijakan pembangunan dan pengembangan infrastruktur pertanian perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana pembangunan dan pengembangan sarana pendistribusian air irigasi pada kawasan sentra produksi (KSP) yang telah ditetapkan.

×            Pembangunan jaringan irigasi

×            Pembangunan embung/dam penyimpan air

×            Rehabilitasi jaringan irigasi yang telah ada

»          Arahan rencana pengendalian pemanfaatan dan pendistribusian air.

×            Membatasi pemakaian air dengan sistem pompa air tanah dalam dengan pengetatan perijinan (SIPA)

×            Pemetaan potensi dan neraca kebutuhan air untuk menyeimbangkan antara potensi dengan kebutuhan untuk menjaga kelestarian pemanfaatan air.

×            Penguatan himpunan petani pemakai air (HIPPA) di tingkat petani.

  1. Pengembangan sistem pertanian

Pengembangan sistem usaha tani dari hulu sampai ke hilir beserta sub sistemnya meliputi sistem pra produksi, sistem produksi, sistem pasca produksi dan sistem pendukungnya beserta sarana dan prasarana penunjang kegiatan untuk meningkatkan pendapatan petani. Sistem pertanian terpadu yang dibangun dan dikembangkan sesuai dengan kondisi dan potensi wilayah sesuai arahan kebijakan dan rencana pengembangan sektor pertanian yaitu mendukung pengembangan Kota Batu sebagai Kota Agropolitan dan sentra pengembangan pertanian khususnya holtikutura di Jawa Timur akan sangat menunjang keberhasilan pengembangan produktifitas hasil pertanian dan pendapatan petani yang akan mendukung perkembangan perekonomian wilayah. Dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan sistem pertanian perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana pengembangan sistem pra produksi.

×            Pengembangan dan penyediaan benih unggul.

×            Pemanfaatan dan pengusahaan pupuk organik untuk meningkatkan nilai tambah produksi pertanian di setiap KSP yang telah ditetapkan.

»          Arahan rencana pengembangan sistem produksi.

×            Pengenalan teknologi pengolahan tanah yang efektif dan efisien, serta memperhatikan daya dukung lingkungan disekitarnya, sehingga akan mempermudah dalam proses bertani (on farm) itu sendiri.

×            Pembangunan sarana pemasaran komoditas pertanian yang berorientasi pada pengembangan komoditas pertanian (Pasar Agribis).

»          Arahan rencana pengembangan sistem pasca produksi

×            Pengembangan industri kecil yang mengolah hasil produksi pertanian (off farm) pada masing-masing KSP sesuai potensi dan kondisi wilayah.

×            Pengadaan teknologi pengolahan hasil pertanian.

×            Strategi pemasaran hasil industri kecil yang tepat melalui pembentukan jaringan pemasaran.

×            Labelisasi dan pengemasan produk pertanian sesuai dengan mutu yang diinginkan pasar.

»          Arahan rencana pengembangan sistem pendukung.

×            Perencanaan pusat informasi agribisnis.

×            Penyiapan lembaga keuangan yang membantu permodalan bagi masyarakat petani dan bagi pengembangan industri kecil (KUD, KSP, dll).

×            Permodalan bagi petani dan masyarakat dengan sistem ringan dan lunak.

×            Dukungan Pemerintah dalam mencari investor baik yang berskala nasional maupun investor asing khususnya untuk pengembangan potensi pertanian dan agribisnis, sehingga bisa meningkatkan perekonomian dan pendapatan daerah.

»          Arahan rencana peningkatan sumberdaya manusia.

×            Pelatihan petugas penyuluh lapang, staf perintis, pembimbing, dan pengawas untuk mendukung pengembangan agropolitan.

×            Pelatihan pada masyarakat dan pengembangan kelembagaan di tingkat petani untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kegiatan pertanian yang baik.

Rehabilitasi kerusakan lingkungan

Adanya kegiatan alih fungsi lahan ini sebagai akibat semakin meningkatnya kebutuhan lahan untuk pertanian akan membawa dampak dan implikasi yang besar nantinya baik bagi Kota Batu sendiri maupun untuk wilayah sekitarnya. Semakin banyaknya kegiatan perambahan hutan, penebangan liar dan pembukaan hutan untuk lahan pertanian, meskipun di satu sisi menguntungkan secara ekonomi tetapi dalam jangka panjang akan jauh lebih merugikan dampak yang akan ditimbulkannya baik dari aspek fisik, sosial maupun ekonomi akibat kerusakan lingkungan dan dampak lanjutan yang ditimbulkan nantinya. Dalam pelaksanaan kebijakan rehabilitasi kerusakan lingkungan perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana pemulihan kerusakan lingkungan melalui konservasi dan rehabilitasi lingkungan

×            Pemulihan kondisi dan fungsi kawasan-kawasan konservasi.

×            Reboisasi lahan pada kawasan kritis.

×            Penyelamatan sumber mata air dan perlindungan kawasan sekitarnya.

»          Arahan rencana pengembangan pertanian ramah lingkungan/organik

×            Pengenalan pertanian organik pada petani melalui informasi, pelatihan dan kebun percontohan.

×            Pemanfaatan teknologi pertanian ramah lingkungan.

Pengendalian pemanfaatan lahan.

Berkembangnya kebutuhan lahan untuk kegiatan dan pengembangan sektor pertanian telah mendorong terjadinya alih fungsi fungsi lahan yang cukup besar di wilayah Kota Batu. Kawasan hutan yang selama ini berfungsi sebagai kawasan konservasi sudah semakin terancam keberadaannya dan telah berubah menjadi lahan pertanian akibat meningkatnya kebutuhan untuk lahan pertanian. Meningkatnya alih fungsi lahan akan menyebabkan kerusakan lingkungan dimana kawasan yang semula merupakan kawasan untuk konservasi menjadi lahan budidaya yang menyebabkan kemampuan tanah meyerap dan menyimpan air menjadi berkurang dan rusaknya struktur tanah sehingga dalam jangka panjang akan berpotensi menyebabkan meningkatnya erosi dan banjir. Dalam pelaksanaan kebijakan pengendalian pemanfaatan lahan perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana pengendalian kawasan terbangun

×            Pembatasan pembangunan pada kawasan konservasi dan lahan pertanian produktif.

×            Pengetatan aturan dan perijinan yang berhubungan dengan alih fungsi lahan (Perda, IMB).

×            Sistem reward dan punishment untuk mengurangi terjadinya alih fungsi lahan dengan sanksi yang tegas.

ARAHAN SEKTOR PARIWISATA

Sesuai dengan permasalahan lingkungan yang timbul dengan adanya kebijakan, rencana dan program (KRP) di sektor pariwisata, maka arahan KRP yang direkomendasikan adalah sebagai berikut :

Arahan Kebijakan Pengembangan Wisata Terpadu

Berdasarkan salah satu fungsi dan peran wilayahnya, Kota Batu merupakan wilayah di Jatim yang mempunyai fungsi regional sebagai pusat pengembangan wisata. Jenis wisata yang dikembangkan mencakup wisata ekologi, hortikultura, pendidikan dan wisata belanja. Kebijakan pengembangan wisata terpadu diperlukan untuk mengembangkan seluruh aset wisata yang ada di Kota Batu secara menyeluruh sebagai potensi utama di Kota Batu. Sebagai pelaksanaan dari kebijakan ini dapat disusun Rencana Induk Periwisata di Kota Batu, dengan arahan-arahan pengembangan sebagai berikut ini :

»          Arahan rencana pengembangan sistem keterkaitan (linkage system) antar kawasan wisata.

×            Identifikasi seluruh kawasan wisata potensial di Kota Batu baik yang telah dikembangkan atau yang belum dikembangkan.

×            Pengaturan sirkulasi jalan jalur penghubung antar kawasan wisata yang terintegrasi dengan rencana tata ruang wilayah.

»          Arahan rencana perluasan pelayanan fasilitas wisata

×            Pembangunan jaringan jalan ke lokasi wisata baru yang potensial untuk dikembangkan (jalur wisata).

×            Pemenuhan sarana pendukung sarana pendukung wisata (sarana peribadatan, peristirahatan, perbelanjaan, dll).

»          Arahan rencana pengembangan atraksi wisata

×            Program pengembangan jenis atraksi wisata pada kawasan wisata sesuai dengan jenisnya.

×            Program kerjasama dan pemberdayaan masyarakat di sekitar lokasi wisata dalam pengembangan atraksi wisata.

Arahan Kebijakan Pengendalian Pertumbuhan Fasilitas Wisata pada Kawasan Lindung dan Konservasi

Kebijakan ini perlu disusun sebagai upaya untuk mencegah dan menghindari terjadinya bencana alam yang berupa tanah longsor pada kawasan konservasi. Selain berfungsi sebagai daerah penyangga (buffer area), kawasan konservasi yang berupa hutan lindung di Kota Batu juga berfungsi sebagai daerah tangkapan air hujan dan penyediaan air tanah. Sehingga kebijakan ini juga bertujuan untuk mencegah hilangnya sumber mata air. Pelaksanaan dari kebijakan ini dapat di wujudkan dalam rencana dengan arahan-arahan sebagai berikut ini :

»          Arahan rencana perlindungan kawasan lindung dan konservasi

×            Penetapan batas pemanfaatan ruang dan lahan dalam pengembangan fasilitas wisata.

×            Penertiban bangunan fasilitas pendukung wisata pada lahan konservasi.

»          Arahan pengaturan penggunaan sumberdaya air pada fasilitas pendukung wisata.

×            Pengawasan penggunaan air pada fasilitas pendukung wisata.

×            Program hemat air.

»          Arahan pengaturan pemanfaatan ruang dalam kawasan wisata.

×            Pengaturan perijinan penggunaan ruang dan lahan pada kawasan wisata.

×            Penetapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang dan lahan.

Arahan Kebijakan Penataan Bangunan di Kawasan Wisata

Pengembangan pariwisata di Kota Batu diarahkan pada pengembangan kawasan wisata yang didalamnya banyak terdapat daya tarik wisata yang saling melengkapi dengan didukung usaha sarana wisata yang disesuaikan dengan kondisi fisik kawasan serta kegiatan permukiman penduduk yang ada di dalam kawasan wisata tersebut. Pengembangan pariwisata tersebut didukung dengan adanya pengembangan daya tarik dan atraksi wisata serta even wisata yang didukung dengan fasilitas wisata (infrastruktur jalan dan utilitas) dan pemberdayaan masyarakat dalam satu kawasan wisata. Selain itu juga didukung dengan adanya pengembangan usaha jasa wisata (terutama hotel dan restaurant) didalam kawasan wisata yang disesuaikan dengan kondisi fisik kawasan atau daya dukung lahan yang ada. Dalam pelaksanaan kebijakan penataan bangunan di kawasan wisata perlu disusun suatu arahan perencanaan dan program, yang meliputi :

»          Arahan rencana tata bangunan dan lingkungan (RTBL) pada kawasan wisata.

×            Identifikasi bangunan permukiman penduduk dan bangunan infrastruktur penunjang wisata yang ada di kawasan wisata.

×            Penyediaan sarana pelayanan minimal (SPM) khususnya sarana pembuangan limbah domestik (sampah dan air kotor).

»          Arahan rencana peremajaan kawasan permukiman.

×            Identifikasi bangunan permukiman penduduk berdasarkan permanensinya yang ada di sekitar kawasan wisata.

×            Penyusunan data base permukiman di Kota Batu.

×            Rehabilitasi dan renovasi bangunan non permanen.

Tipe dan penyebaran jenis tanah dalam suatu DAS sangat penting untuk mengontrol aliran bawah permukaan (subsurface flow) melalui proses infiltrasi. Variasi dalam tipe tanah dengan kedalaman dan luas tertentu akan mempengaruhi karakteristik infiltrasi dan timbunan kelembaban tanah (soil moisture storage). Untuk mengetahui proses infiltrasi yang terjadi di suatu DAS, perlu dipertimbangkan perbedaan horison dari profil tanah.

               Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk ke dalam tanah. Dengan kata lain, infiltrasi adalah aliran air masuk ke dalam tanah sebagai akibat gaya kapiler (gerakan air ke arah lateral) dan gravitasi (gerakan air ke arah vertikal). Mekanisme infiltrasi melibatkan tiga proses yang tidak saling mempengaruhi yaitu proses masuknya air hujan melalui pori-pori permukaan tanah, tertampungnya air hujan tersebut di dalam tanah, Proses mengalirnya air tersebut ke tempat lain (bawah, samping, dan atas). Laju infiltrasi banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya yaitu tekstur tanah, struktur tanah dan kadar air lapangan.

            Penelitian ini bertujuan memetakan pola infiltrasi pada beberapa seri tanah di Sub DAS Sayang Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang dan dapat menampilkannya dalam peta digital. Alat yang digunakan adalah Double Ring Infiltrometer. Pengukuran infiltrasi dilakukan di beberapa tempat di Sub Das Sayang berdasarkan seri tanah yang berbeda dengan tiga kali ulangan kemudian diambil sampel tanah masing-masing tanah sebanyak 1 kali dan diuji di Laboratorium Fisika Tanah, Universitas Brawijaya. Penetapan lokasi penelitian berdasarkan peta tanah dan peta rupa bumi kemudian didigit dengan GPS untuk selanjutnya diolah dalam program GIS. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pada beberapa seri tanah dengan tiga kali ulangan. RAK ini digunakan untuk menganalisa hasil pendugaan laju infiltrasi dasar dan kapasitas infiltrasi.

Seri tanah adalah kelompok tanah yang mempunyai sifat profil yang sama, sifat dan pekembangannya atau sama bahan induknya. Pada Sub DAS Sayang terdapat 7 seri tanah yaitu Seri Kaumrejo, Seri Jombok, Seri Ngebrong, Seri Selorejo, Assosiasi Ngantang, Assosiasi Sereng Tlogo dan Slip and landslide surface.

Laju infiltrasi dasar tanah Assosiasi Ngantang sebesar 1.08 cm/menit, tanah Seri Kaumrejo 0.38 cm/menit, tanah Assosiasi Sereng Tlogo 3.7 cm/menit, tanah Seri Jombok 1.45 cm/menit, tanah Seri Ngebrong 0.91 cm/menit, tanah Slip and landslide surface 4.65 cm/menit dan 0.14 cm/menit untuk tanah Seri Selorejo. Laju infiltrasi dasar tanah Seri Selorejo, Seri Kaumrejo, Seri Ngebrong, Assosiasi Ngantang dan Seri Jombok tidak berbeda nyata tapi berbeda sangat nyata dengan jenis tanah Assosiasi Sereng Tlogo dan tanah Slip and landslide surface.

Kapasitas infiltrasi tanah Assosiasi Ngantang sebesar 0.38 cm/menit, tanah Seri Kaumrejo 0.22 cm/menit, tanah Assosiasi Sereng Tlogo 0.35 cm/menit, tanah Seri Jombok 0.25 cm/menit, tanah Seri Ngebrong 0.29 cm/menit, tanah Slip and landslide surface 0.34 cm/menit dan tanah Seri Selorejo 0.04 cm/menit. Kapasitas infiltrasi tanah Seri Jombok, Seri Ngebrong, Slip and landslide surface, Assosiasi Sereng Tlogo dan Seri Ngantang  tidak berbeda nyata tapi berbeda nyata dengan tanah Seri Kaumrejo dan berbeda sangat nyata dengan tanah Seri Selorejo.

Pola infiltrasi beberapa seri tanah di Sub DAS Sayang meliputi tanah Assosiasi Ngantang memiliki persamaan y = – 0,2448Ln(x)+1,0629; tanah Seri Kaumrejo memiliki persamaan y = -0,0525Ln(x)+0,3722; tanah Assosiasi Sereng Tlogo memiliki persamaan y = -0,7581Ln(x)+2,699; tanah Seri Jombok memiliki persamaan  y = -0,5656Ln(x)+1,6103; tanah Seri Ngebrong memiliki persamaan  y = -0,206Ln(x)+0,9389; tanah Slip and landslide surface memiliki persamaan     y = -1,4812Ln(x)+4,663; dan tanah Seri Selorejo memiliki persamaan                   y = -0,0451Ln(x)+0,1583.

Intersepsi hujan adalah proses tertahannya air hujan pada permukaan vegetasi sebelum diuapkan kembali ke atmosfer.  Penelitian yang berhubungan dengan intersepsi ini masih kurang, sehingga perlu dilakukan penelitian intersepsi pada beberapa jenis tanaman. Walaupun selama ini intersepsi hanya memiliki nilai yang kecil dan terkadang diabaikan, namun pada beberapa tanaman ada yang mempunyai efek yang cukup besar. Dalam penelitian ini akan dikembangkan suatu model intersepsi yang akan mempertimbangkan beberapa variabel yang diduga mempengaruhi proses intersepsi.  Dengan demikian pada akhirnya akan didapat besaran nilai intrsepsi yang lebih spesifik.

Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tanaman Kopi dan Pinus. Analisa intersepsi yang terjadi pada tanaman akan dimodelkan pada alat uji rainfall simulator. Penelitian ini merupakan pengembangan model konseptual dari metode SCS (The Soil Conservation Service) yang digunakan untuk perhitungan intersepsi berdasarkan pada berbagai bentuk kanopi tanaman.

Penelitian ini bertujuan: 1) Mengembangkan model intersepsi sebagai fungsi karakteristik hujan dan karakteristik penutupan lahan khususnya tanaman Kopi dan Pinus, 2) Mendapatkan persamaan empiris untuk pendugaan intersepsi, 3) Menyusun program intersepsi mempergunakan Visual Basic 6.0, 4) Mengetahui besar intersepsi untuk tanaman Kopi dan Pinus.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Tanah dan Air  Jurusan Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya Malang pada bulan Agustus 2008 sampai selesai. Alat yang digunakan dalam penelitian: 1)Rainfall Simulator untuk membuat hujan buatan, 2) Ombrometer, 3) Gelas ukur untuk menampung dan menghitung volume air yang tertampung selama penelitian, 3) Stop watch untuk pengukuran waktu, 4) alat bantu lainnya seperti ember, stereoform, kamera, dan sebagainya. Bahan yang digunakan dalam penelitian : 1) Air untuk membuat simulasi hujan buatan, 2)Tanaman, yang digunakan untuk menguji besarnya intersepsi.

Tahapan dalam penelitian ini meliputi : Persiapan (pemasangan shower, pemasangan pompa, kalibrasi sprayer, penyusunan tanaman uji, selanjutnya alat ditutup dengan plastik penutup. Pelaksanaan percobaan yaitu 1) pompa dinyalakan, RPM dan bukaan kran diatur sesuai dengan yang diinginkan,2) dihitung air yang tertampung selama 5menit, 3) dilakukan 2kali ulangan dengan kondisi hujan yang berbeda pada masing-masing tanaman, 4) dicatat pada tabel percobaan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa intersepsi pada tanaman Kopi lebih besar dari intersepsi tanaman Pinus dengan nilai potensi penyimpanan maksimum (Sv) untuk tanaman Kopi sebesar 2,66 cm dan Pinus 1,24 cm, dan nilai Coefficient Canopy (CC) untuk tanaman Kopi adalah 7,89 dan Pinus 8,89. Pemodelan ini telah diverifikasi dengan menggunakan contoh perhitungan dalam metode SCS (The Soil Conservation Service) dan juga perhitungan yang dilakukan dalam Microsoft Excel.

SIMODAS adalah model hidrologi sebar keruangan dan Sistem Informasi Geografis (SIG) mampu mensimulasikan proses hidrologi dengan menampung perubahan-perubahan keruangan dalam DAS secara interaktif, sehingga dapat membantu dalam pengambilan keputusan dengan efisien, efektif dan akurat dalam perencanaan DAS dan usaha-usaha perbaikan kondisi DAS.Perubahan suatu kondisi DAS (pemanfaatan lahan) dimana pengurangan hutan atau lahan pertanian menjadi pemukiman, pada tingkat tertentu, akan memberikan dampak yang relatif sensitif terhadap peningkatan debit puncak banjir hidrograf.

 Pendekatan yang digunakan pada model SIMODAS menggunakan sebar keruangan, dimana variasi karakteristik atau sifat-sifat (properties) dalam DAS diperhatikan. DAS dimodelkan sebagai sel-grid yang saling bertetangga (neighbourhood). Penyajian SIMODAS memungkinkan berbagai factor physiographic yang meliputi kemiringan, arah aliran, laju abstraksi dan kekasaran permukaan dapat diekstrak secara akurat untuk perhitungan besarnya aliran air dan tapungan detensi.

Hasil pemodelan dapat disimpulkan: (a) Model SIMODAS dapat diaplikasikan untuk menduga besarnya hujan limpasan, puncak banjir dan dapat dipergunakan untuk menghitung volume tapungan detensi pada daerah aliran sungai. (b). Penerapan tapungan detensi 3 m3/sel pada intensitas hujan 50 mm/jam,  mampu menampung keseluruhan aliran permukaan, dan tampungan detensi sebesar 5m3/sel mampu menampung keseluruhan aliran permukaan pada kejadian hujan 70 mm/jam.(c) Pemakaian model SIMODAS pada berbagai variasi tataguna lahan memungkinkan pendugaan volume tapungan detensi dan debit puncak banjir secara cepat dan akurat untuk merancang tataguna lahan.

Kajian lingkungan hidup strategis perlu dilaksanakan untuk memadukanprogram progam daerah dengan lingkunan.

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!